PESANTREN GENGGONG PROBOLINGGO
(berdiri tahun 1839)
KH. Zainul Abidin (w. 1890)
Pesantren Genggong adalah salah satu pesantren besar di wilayah tapal kuda, wilayah Jawa Timur bagian timur. Dengan usia yang lebih dari satu setengah abad, Pesantren Genggong telah banyak berperan dalam membimbing masyarakat Muslim mengenal ajaran-ajaran Islam. Didirikan oleh KH. Zainul Abidin pada 1839, Pesantren Genggong saat ini (2015) diasuh oleh pengasuh yang keempat, KH. Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah yang juga menjadi Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur.
Asal Nama Genggong
Pesantren yang didirikan Kiai Zainul Abidin ini dikenal sebagai Pesantren Genggong. Lalu bagaimana muncul istilah ini? Konon, Genggong adalah nama bunga yang banyak tumbuh di Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo. Desa Karangbong terletak kira-kira 25 kilometer sebelah timur Probolinggo. Bunga ini sering digunakan masyarakat setempat dalam acara pernikahan, khitanan, dan lain-lain. Namun sekarang bunga ini telah punah, tidak lagi ditemukan. Karena besarnya fungsi bunga ini bagi masyarakat, akhirnya nama Genggong diabadikan sebagai nama pesantren.
Asal Nama Zainul Hasan
Pesantren Genggong sebenarnya bernama Zainul Hasan, lengkapnya Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo. Dalam perjalanannya, pesantren ini telah mengalami tiga kali perubahan nama. Saat pertama kali didirikan pada 1839 hingga 1952 diasuh oleh Kiai Zainul Abidin dan Kiai Hasan Sepuh, pesantren ini bernama Pesantren Genggong. Kemudian saat diasuh oleh Kiai Hasan Saifouridzall, pesantren ini bernama Asrama Pelajar Islam Genggong (APIG). Nama APIG ini bertahan hingga 1 Muharram 1379 H/19 Juli 1959 M saat diresmikan nama baru, yaitu Zainul Hasan.
Nama Zainul Hasan adalah gabungan dari dua orang pengasuh pertama pesantren ini. Nama Zainul adalah potongan dari nama Kiai Zainul Abidin, pendiri pesantren ini, lalu Hasan adalah potongan dari nama Kiai Muhammad Hasan yang biasa dipanggil dengan sebutan Kiai Hasan Sepuh. Meski pesantren ini bernama Zainul Hasan, orang sering menyebutnya hanya dengan Pesantren Genggong.
Pendiri Pesantren Genggong
Pesantren ini didirikan oleh Kiai Zainul Abidin. Namun sejarah hidup beliau sulit diketahui. Informasi yang ada menyebutkan bahwa beliau adalah keturunan ulama Maghribi atau Maroko. Tokoh ini pernah belajar di Pesantren Sidoresmo Surabaya. Terbatasnya informasi ini merupakan sesuatu yang wajar. Karena, beliau hidup pada masa ketika banyak orang Jawa atau Indonesia pada umumnya masih buta huruf. Kebiasaan tulis menulis belum seperti sekarang. Pelestarian sejarah atau peristiwa penting lebih banyak mengandalkan oral atau cerita dari mulut ke mulut. Informasi yang ada menyebutkan bahwa Kiai Zainul Abidin mendirikan Pesantren Genggong pada 1259 H/1839 M.
Awalnya, sebagaimana pesantren pada umumnya, bangunan pesantren masih sangat sederhana, terbuat dari kayu dan bambu. Lambat laun bangunan diperbaiki satu per satu sesuai dengan bertambahnya santri. Tak lupa Kiai Zainul Abidin juga melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan begitu, masyarakat merasa memiliki dan menyatu dengan pesantren. Kiai Zainul Abidin wafat pada 1890. Lalu kepengasuhan pesantren ini dilanjutkan oleh menantunya, KH. Muhammad Hasan. Di bawah ini diuraikan lebih panjang perjalanan hidup Kiai Hasan Sepuh, panggilan akrab Kiai Muhammad Hasan.
Tentang Kiai Muhammad Hasan
Di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, kira-kira empat kilometer arah selatan Kraksaan, hidup sepasang suami istri bernama Syamsuddin dan Khadijah. Masyarakat sekitar menyebut mereka dengan Kiai Syamsuddin dan Nyai Khadijah karena keseharian mereka yang rajin mengerjakan ajaran Islam disertai pengetahuan agama yang mendalam, meski mereka tidak mengasuh pesantren. Karena, biasanya gelar “kiai” atau “nyai” diberikan masyarakat kepada mereka yang mempunyai atau mengasuh pesantren. Ini perkecualian untuk pasangan Syamsuddin dan Khadijah. Masyarakat sekitar juga memanggil keduanya dengan Kiai Miri dan Nyai Miri.
Dalam sehari-harinya, Kiai Syamsuddin mencukupi kebutuhan keluarganya dengan bekerja mencetak genteng dari tanah liat. Sedangkan istrinya, Nyai Khadijah, adalah ibu rumah tangga biasa. Meskipun begitu mereka hidup dengan harmonis. Keluarga ini dikenal masyarakat sekitar sebagai keluarga yang dermawan karena sering bersedekah kepada orang-orang yang tidak mampu. Jika ada harta yang lebih, tak segan-segan mereka memberikannya kepada orang-orang sekitar yang membutuhkan. Ayah Kiai Syamsuddin bernama Kiai Goiduddin, sedangnya ayah Nyai Khadijah tidak diketahui namanya tapi ibunya bernama Qomariz Zaman.
Suatu ketika Kiai Syamsuddin bermimpi melihat istrinya merenggut bulan purnama, lalu menelannya tanpa sisa. Kiai Syamsuddin tidak tahu apa takwil mimpinya itu. Dia hanya berdoa kepada Allah semoga mimpinya itu sebagai pertanda yang baik. Tak lama kemudian ternyata istrinya mengandung anak kedua. Tampaknya mimpi Kiai Syamsuddin ini menandakan bahwa istrinya akan hamil lagi. Setelah lahir, 27 Rajab 1259 H/23 Agustus 1843 M, anak kedua ini diberi nama Ahsan. Seluruh anak pasangan Kiai Syamsuddin dan Nyai Khadijah ada lima orang.
Ahsan kecil tumbuh sebagaimana anak pada umumnya. Namun Ahsan telah menunjukkan kecerdasannya dibandingkan teman-teman sebayanya. Sejak kecil Ahsan diajarkan bahasa Madura halus, bukan bahasa Madura kasar. Maka, Ahsan telah terbiasa menggunakan bahasa Madura halus sejak kecil. Perlu diketahui, wilayah Jawa Timur bagian timur, termasuk Probolinggo, memang banyak dihuni oleh orang-orang Madura. Jadi, orang Madura tidak hanya ada di Pulau Madura, namun juga di Pulau Jawa bagian timur yang biasanya disebut sebagai wilayah tapal kuda. Maka, tidak aneh jika Ahsan yang tinggal di Pulau Jawa ini membiasakan diri berkomunikasi dalam bahasa Madura halus.
Ahsan juga dididik untuk rajin menjalankan ibadah. Shalat lima waktu dikerjakan dengan disiplin. Dia juga rajin membaca Al-Qur’an. Ahsan belajar membaca Al-Qur’an kepada guru ngaji di kampungnya. Sayang, ketika masih kecil ini, Ahsan ditinggal wafat ayahnya, Kiai Syamsuddin. Akhirnya Ahsan hanya diasuh oleh ibunya, Nyai Khadijah.
Selain ibunya, orang yang banyak berpengaruh dan mengasuh Ahsan adalah pamannya yang bernama Kiai Syamsuddin. Kebetulan nama pamannya ini sama dengan nama ayahnya. Kiai Syamsuddin ini mempunyai anak bernama Asmawi. Maka, Ahsan bersahabat akrab dengan sepupunya yang bernama Asmawi Ini, Ketika masih kecil, Ahsan dan Asmawi dikenal sebagai anak-anak yang cerdas, Keduanya cepat menghafal pelajaran dan memiliki rasa Ingin tahu yang besar. Keduanya sangat menonjol dibanding teman-teman lainnya, Konon, jika Ahsan hafal pelajaran pada hari Senin maka Asmawi hafal pada hari Selasa, sedangkan teman-temannya bary hafal pada hari Senin minggu depan,
Rihlah Ilmiah
Ketika berusia 14 tahun, Ahsan melanjutkan belajarnya ke pesantren, Ahsan masih ditemani oleh sepupunya, Asmawi, Pesantren yang dituju adalah Pesantren Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Sebagai pengasuh pesantren ini adalah KH, Mohammad Tamim, Jarak antara Sentong kampung halaman Ahsan, dan pesantren ini sekitar 70 kilometer. Ahsan dan Asmawi menempuhnya dengan berjalan kaki. Maklum saat itu belum banyak kendaraan seperti sekarang dan itu juga sebagai bentuk riyadhah mereka dalam menuntut ilmu,
Ada kebiasaan menarik dari Ahsan dan Asmawi. Keduanya hidup sederhana di pesantren ini, sebagaimana santri pada umumnya, meski sebenarnya keduanya memiliki uang saku lebih. Kelebihan uang saku ini disimpan di atas Joteng. Hari demi hari, bulan demi bulan, uang simpanan ini semakin banyak. Teman-temannya tidak ada yang tahu jika Ahsan dan | Asmawi menyimpan uangnya di loteng.
Suatu ketika Kiai Tamim berniat memperbaiki beberapa bagian pesantren yang sudah rusak. Akan tetapi Kiai Tamim tidak mempunyai dana yang cukup untuk biaya perbaikan ini. Lalu Kiai Tamim mengumpulkan para santri dalam sebuah ruangan besar. Di depan para santri, Kiai Tamim mengutarakan keinginannya merenovasi pesantren tapi tidak mempunyai biaya. Kiai Tamim berharap para santri mau meminjami uang sekadarnya untuk membantunya. Kiai Tamim tahu bahwa beberapa santrinya berasal dari keluarga yang berada. Namun, apa yang diharapkan Kiai Tamim ternyata tidak terjadi. Tidak ada santri yang meminjaminya uang. Meski dengan sedikit kecewa, Kiai Tamim dapat memahami kondisi para santrinya. Karena, bagaimanapun yang kaya adalah ayah mereka, bukan para santri itu. Setelah pertemuan dengan Kiai Tamim selesai, Ahsan dan Asmawi segera menuju kamarnya untuk mengambil uang yang diletakkan di loteng.
Kemudian mereka menemui Kiai Tamim untuk memberikan dengan ikhlas, bukan meminjamkan, seluruh uang simpanannya. Kiai Tamim sangat terharu dengan tindakan kedua santrinya ini. Tak lupa Kiai Tamim mendoakan agar Allah memberikan kemudahan kepada keduanya untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Setelah merasa cukup ilmu yang diperoleh dengan belajar kepada Kiai Tamim, Ahsan dan Asmawi memutuskan untuk melanjutkan belajarnya ke Pesantren Demangan Bangkalan Madura yang diasuh oleh Syaikhana Muhammad Khalil (w. 1925), seorang ulama paling kharismatik di Jawa Madura pada abad XIX hingga awal abad XX. Sebelum berangkat, keduanya menghadap Kiai Tamim terlebih dahulu untuk meminta restunya. Kiai Tamim melepas kedua muridnya dengan haru disertai bangga. Kiai Tamim sangat terkesan dengan perilaku keduanya selama di pesantren, tidak hanya karena kecerdasan tapi juga karena ketulusannya memberikan simpanan uangnya untuk merenovasi bangunan pesantren.
Pada 1860 atau 1861, Ahsan dan Asmawi berangkat ke Pesantren Demangan. Tiga tahun lamanya kedua pemuda ini berguru kepada Kiai Khalil. Konon, pernah suatu hari Kiai Khalil merasa resah karena ada persoalan yang belum dapat diselesaikan. Lantas, Kiai Khalil memanggil Ahsan untuk diajak berdoa. Anehnya, keesokan harinya persoalan yang dihadapi Kiai Khalil dapat terselesaikan. Mengapa Ahsan yang diajak Kiai Khalil untuk berdoa? Hanya Kiai Khalil yang tahu. Hal itu menunjukkan pengakuan Kiai Khalil atas kelebihan atau keistimewaan Ahsan daripada santri-santri lainnya.
Jika dibandingkan antara Ahsan dan Asmawi dalam hal kecerdasan, maka Ahsan lebih unggul daripada Asmawi. Seperti disebutkan sebelumnya, jika Ahsan hafal pada hari Senin, maka Asmawi hafal pada hari Selasa, sementara teman-temannya hafal pada hari Senin minggu depan. Keunggulan Ahsan ini menimbulkan rasa iri pada diri Asmawi. Asmawi ingin lebih unggul dari Ahsan, namun belum juga kesampaian. Caranya, menurut pikiran Asmawi, adalah dengan belajar di tempat yang Ahsan tidak belajar di tempat itu. Dengan begitu, Asmawi merasa lebih dahulu menguasai ilmu tersebut daripada Ahsan. Maka, Asmawi memutuskan untuk berangkat ke tanah suci dengan tujuan menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama di sana.
Pada 1863, Asmawi berangkat ke Mekkah. Ahsan melepas saudarg sepupunya dengan bangga karena ada saudaranya yang berangkat ke tanah suci. Dalam hati kecilnya, Ahsan juga ingin seperti sepupunya ini berangkat ke tanah suci, tapi Ahsan tidak mempunyai biaya. Ahsan hanya dapat berdoa kepada Allah semoga suatu saat diberi kesempatan belajar di tanah Suci. Tak lama kemudian Ahsan dipangil ibunya agar pulang ke Sentong, Probolinggo. Ahsan pun akhirnya pulang kampung.
Di rumah, sang ibu bertanya kepada Ahsan apakah dirinya juga ingin belajar ke Mekkah sebagaimana Asmawi. Tentu saja Ahsan mengiyakannya, Kata ibunya, jika Ahsan memang benar-benar ingin ke tanah suci, maka dia harus mencetak genteng sebanyak-banyaknya sebagai bekal berangkat ke sana. Sehingga, Ahsan harus di rumah lebih lama untuk mencetak genteng, tidak lagi berangkat ke Bangkalan. Ahsan merasa bingung mengambil keputusan. Kemudian Ahsan memperbanyak shalat istikharah (shalat memohon petunjuk yang terbaik dari Allah). Dari shalat istikharah ini, Ahsan memperoleh isyarat ifal dan laa tafal (kerjakan dan jangan kerjakan). Ahsan menyimpulkan bahwa di rumah atau berangkat ke Bangkalan tidak ada bedanya. Dan jika Allah menghendaki dia berangkat ke Mekkah, itu juga pasti akan terlaksana. Akhirnya Ahsan memilih untuk berangkat kembali ke Pesantren Demangan Bangkalan.
Kepada Kiai Khalil, Ahsan menceritakan segala yang dialaminya di rumah, termasuk keinginannya meneruskan belajar ke tanah suci. Tak lupa Ahsan memohon Kiai Khalil mendoakannya agar segera diberi jalan untuk berangkat ke tanah suci. Kiai Khalil tentu saja tidak keberatan mendoakan muridnya. Dulu, Kiai Khalil juga pernah meminta tolong Ahsan untuk mendoakan dirinya. Di pesantren ini Ahsan kembali beraktifitas sebagaimana biasanya.
Tak lama kemudian, tepatnya pada 1864, Ahsan mendapat kabar disuruh pulang oleh ibunya. Ahsan pun pulang ke Probolinggo. Sang ibu memberitahu Ahsan bahwa jika Ahsan bersikeras ingin belajar ke Mekkah, ibunya sudah mempersiapkan biaya perjalanannya, tapi tanpa ada biaya untuk hidup selama dalam perjalanan maupun biaya hidup di Mekkah kelak. Akhirnya, meski dengan uang yang pas-pasan, Ahsan tetap meneruskan cita-citanya untuk berangkat ke tanah suci. Setelah sowan kepada Kiai Khalil, Ahsan berangkat menuju tempat kelahiran Nabi Muhammad ini.
Di Mekkah Ahsan bertemu dengan sepupunya yang sudah lebih dulu di sana, Asmawi. Asmawi merasa gembira dapat bertemu dengan sahabat akrab sekaligus sepupunya ini. Dalam hati kecilnya, Asmawi merasa dirinya tetap kalah pintar dibanding Ahsan, meski dirinya telah lebih dulu belajar di Mekkah. Nah, untuk menguji kealiman Ahsan, Asmawi berencana mempertemukan Ahsan dengan temannya yang bernama Abdul Qahar agar keduanya berdebat. Ahsan tidak tahu dengan rencana Asmawi. Ahsan hanya diajak berjalan-jalan karena memang Asmawi telah hafal jalan-jalan di Mekkah. Kemudian Asmawi mempertemukan Ahsan dengan Abdul Oahar. Maka terjadilah perdebatan antara Ahsan dan Abdul Qahar. Singkat cerita, Abdul Qahar mengakui kealiman Ahsan. Ahsan dapat menjawab seluruh pertanyaan dari Abdul Qahar. Sepulang dari perdebatan tersebut, Ahsan bertanya kepada Asmawi tentang alasan mengapa dirinya diajak berdebat. Asmawi hanya menjawab itu adalah ajang musyawarah.
Perdebatan yang dimenangkan Ahsan ini ternyata belum memuaskan Asmawi. Asmawi masih ingin menguji kealiman sahabat sekaligus sepupunya ini. Maka, Asmawi lalu mempertemukan Ahsan dengan seorang ulama asal Maghribi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun. Ahsan yang tidak tahu rencana Asmawi merasa senang-senang saja diajak menghadap seorang ulama. Kemudian kembali terjadi perdebatan antara Ahsan dan ulama asal Maghribi ini. Perdebatan dimulai sejak setelah shalat dhuha hingga datang waktu zhuhur. Kembali Ahsan dapat menjawab semua pertanyaan ulama ini dengan jawaban yang memuaskan. Mereka bertiga lalu melaksanakan shalat zhuhur berjamaah. Ulama asal Maghrib ini mengakui kealiman seorang pemuda bernama Ahsan ini.
Pulang dari rumah ulama tersebut, Ahsan kembali memprotes Asmawi mengapa dirinya diajak berdebat. Asmawi hanya menjawab bahwa dirinya ingin melihat Ahsan berdebat. Ahsan meminta Asmawi tidak lagi mengajaknya mengikuti perdebatan. Dan sejak saat itu Asmawi tidak lagi mengajak Ahsan berdebat. Asmawi mengakui bahwa sahabat dan sepupunya ini memang alim. Meski lebih dulu belajar di tanah suci, Asmawi merasa dirinya kalah alim dengan Ahsan. Allah memang telah menganugerahkan kelebihan kepada Ahsan.
Selama di tanah suci, Ahsan berguru kepada sejumlah ulama, baik dari Indonesia maupun Timur Tengah. Di antara guru guru Ahsan ketika di Mekkah adalah Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1897),KH .Marzuqi Mataram,
KH. Mukri Sunda, Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha al-Mishri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain al Habsyi, dan Syaikh sa'id al-Yamani. Adapun gurunya di Madinah adalah Habib Ali bin Ali al-Habsyi,
Ahsan juga bersahabat dengan banyak orang yang kelak menjadi Para ulama besar di tanah air, seperti Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang (w. 1947), KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH Syamsul Arifin Sukorejo Situbondo (w. 1951), KH. Sholeh Pesantren, Banyuwangi, KH. Sa'id Poncogati Bondowoso, Kiai Abdurrahman Gedangan Sidoarjo, dan Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan. Ada juga sahabatnya dari kalangan habaib, seperti Habib Alwi Besuki, Habib Hasyim al-Habsyj Kraksaan, Habib Abdullah al-Habsyi Palembang, Habib Sholeh al-Hamid Tanggul Jember, dan lain-lain.
Segala kelebihan dan keistimewaan Ahsan barangkali merupakan buah dari kebiasaanya melakukan riyadhah atau tirakat selama belajar di pesantren. Konon, ketika menanak nasi di pesantren, Ahsan biasanya mencampur beras dengan pasir. Tujuannya adalah agar makannya tidak terlalu cepat dan tidak banyak makan, karena dia harus memisahkan nasi dari pasir sebelum dimasukkan ke dalam mulut. Ahsan hanya mengkonsumsi makanan kiriman ibunya atau pemberian gurunya. Dia sangat berhati-hati terhadap makanan yang akan masuk ke dalam mulut atau perut. Ahsan sangat wira'i dan zuhud.
Ada yang mengatakan bahwa Ahsan pernah belajar kepada Kiai Nahrowi Sepanjang Sidoarjo, Kiai Ma'shum Sentong (di kampung halaman Ahsan), Kiai Khatib Bangkalan dan Kiai Jazuli Madura. Hanya saja, tidak ada sumber terpercaya kapan Ahsan belajar kepada para kiai ini. Barangkali Ahsan hanya belajar sebentar atau hanya pada bulan Ramadhan kepada orang orang ini. Di kemudian hari Ahsan ini dikenal sebagai KH. Muhammad Hasan Genggong dan Asmawi dikenal sebagai KH. Rofi'i Sentong.
Mengasuh Pesantren Genggong
Setelah berpetualang mencari ilmu di sejumlah pesantren hingga ke tanah suci, Ahsan yang kemudian berganti nama menjadi Muhammad Hasan mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi putri Kiai Zainul Abidin yang bernama Ruwaidah. Muhamamd Hasan lebih dikenal dengan panggilan Kiai Hasan Sepuh. Selanjutnya Kiai Hasan Sepuh membantu mertuanya mengasuh Pesantren Genggong Kiai Hasan Sepuh menggantikan mertuanya mengasuh pesantren Ini sejak ditinggal wafat Kial Zainul Abidin pada 1899 hingga 1952,
Pada 1952, Kiai Hasan Sepuh sebenarnya masih hidup, belum meninggal. Namun karena alasan usia sehingga kesehatannya menurun, Kiai Hasan Sepuh menyerahkan kepengasuhan Pesantren Genggong kepada KH. Hasan Saifouridzall, putranya dari istrinya yang bernama Nyai Siti Aminah. Kiai Hasan Sepuh wafat pada 11 Syawal 1374 H/1 Juni 1955 M. Ketika mengasuh Pesantren Genggong, Kiai Hasan Sepuh memperkenalkan sistem klasikal sehingga kegiatan belajar mengajar santri lebih efektif.
Kiai Hasan Saifouridzall, ketika mengasuh Pesantren Genggong, melakukan pembaharuan dengan memperkenalkan pendidikan formal. Maka, didirikan beberapa lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kiai Hasan Saifouridzall mempunyai prinsip yang disebut Satlogi Santri, yakni kata “santri” adalah kepanjangan dari S (sopan santun) A (ajeg atau istigamah) N (nasehat) T (tagwallah) R (ridhallah) I (ikhlas). Kiai Hasan Saifouridzall mengasuh pesantren ini hingga meninggal pada 1991.
Selanjutnya, pesantren ini diasuh oleh KH. Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah hingga sekarang. Kiai Hasan Mutawakkil adalah putra Kiai Hasan Saifouridzall dari istrinya yang bernama Nyai Himami Hafshawati. Saat ini (2015) Kiai Hasan Mutawakil juga dipercaya sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur.
Pesantren Genggong memiliki lembaga pendidikan formal dan non formal. Di antara lembaga pendidikan formal yang disediakan pesantren ini adalah TK Zainul Hasan, SD Zainul Hasan, MI Khalafiyah Syafi'iyah Zainul Hasan, SMP Zainul Hasan, MTs Zainul Hasan, SMA Zainul Hasan, SMA Unggulan Hafshawaty Zainul Hasan BPPT, MA Zainul Hasan, MA Model Hafshawaty Zainul Hasan, SMK Zainul Hasan, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Zainul Hasan, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Zainul Hasan, Akademi Keperawatan (Akper) Hafshawaty Zainul Hasan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Hafshawaty Zainul Hasan, dan Akademi Kebidanan (Akbid) Hafshawaty Zainul Hasan. Adapun termasuk lembaga pendidikan non formal adalah Madrasah Roudlatul Qur'an, Madrasah Diniyah, Dirasah Khassah, Madrasah Salafiyah Tingkat Wustha, Lembaga Pengajian Khusus Tharigah, dan lain-lain.
Comments