PESANTREN TEGALSARI PONOROGO (berdiri abad XVIII) Kiai Ageng Muhammad Besari (w. 1773)
Pesantren Tegalsari Ponorogo didirikan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari pada abad XVIII, tetapi masa kejayaan pesantren ini terjadi saat diasuh oleh Kiai Kasan Besari, Ribuan orang santri konon yang belajar di pesantren ini. Di antara mereka adalah Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang pujangga Jawa kenamaan abad XIX. Para pendiri Pesantren Modern Gontor Ponorogo juga masih merupakan keturunan pengasuh Pesantren Tegalsari.
Latar Belakang Keluarga
Kiai Ageng Muhammad Besari berasal dari Caruban, Madiun, Jawa Timur Tidak ada keterangan kapan beliau dilahirkan. Ayahnya bernama Kiai Anom Besari dari Kuncen, Caruban, Madiun. Kiai Ageng Muhammad Besari mempunyai sembilan orang anak. Di antara mereka ada yang bernama Zainal Abidin yang kemudian menjadi menantu Raja Selarong Malaysia. Anak bungsunya menikah dengan Kiai Ibnu Umar yang selanjutnya menjadi tokoh agama di wilayah Banjar.
Pendidikan Kiai Ageng Muhammad Besari dimulai dengan belajar kepada sejumlah ulama di Ponorogo. Bersama adiknya yang bernama Nur Shadiq, Kiai Ageng Muhammad Besari belajar kepada Kiai Danapura yang tinggal di sebelah tenggara Ponorogo. Kiai Danapura ini masih keturunan Sunan Tembayat atau Sunan Pandanarang, seorang wali yang makamnya ada di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Makam Sunan Tembayat ini biasanya disebut Gunung Jabalkat. Kiai Ageng Muhammad Besari dan adiknya belajar kepada Kiai Danapura selama empat tahun
Suatu ketika mereka singgah di kediaman Kiai Nur Salim di Mantub, Ngadisan. Kiai Nur Salim tertarik dengan kepribadian Kiai Ageng Muhammad Besari. Lalu, Kiai Ageng Muhammad Besari diambil menantu oleh Kiai Nur Salim dengan dinikahkan putri sulungnya. Setelah menikah, Kiai Ageng Muhammad Besari dan istrinya lajar ke pesantren Kiai Danapura. Setahun lamanya Kiai Ageng Muhammad Besari belajar kepada Kiai Danapura untuk yang kedua kalinya. Kiai Danapura menyarankan Kiai Ageng Muhammad Besari untuk membuka lahan yang kemudian dikenal sebagai Tegalsari.
Mendirikan Pesantren
Di Tegalsari, Kiai Ageng Muhammad Besari membuka pengajian untuk masyarakat sekitar. Antusiasme masyarakat cukup besar sehingga Kiai Ageng Muhammad Besari mempunyai murid yang banyak. Selain dikenal memiliki ilmu agama yang mendalam, Kiai Ageng Muhammad Besari juga dikenal sakti dengan bukti dapat mengalahkan para warok, pemimpin Reog Ponorogo. Bahkan, setelah Kiai Danapura wafat, perhatian masyarakat tertuju kepada sosok Kiai Ageng Muhammad Besari. Tidak ada keterangan yang pasti kapan Kiai Ageng Muhammad Besari mendirikan Pesantren Tegalsari ini. Hanya saja, diperkirakan pesantren ini berdiri pada abad XVIII.
Nama Kiai Ageng Muhammad Besari semakin dikenal masyarakat dan pesantrennya juga semakin terkenal sejak kehadiran Pakubuwono II, raja Kerajaan Mataram (sebelum terpisah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta). Ceritanya, saat itu istana Kartasura berhasil dikuasi oleh Mas Garendi dan pengikutnya dari kekuasaan Pakubuwono II yang bekerjasama denganm Belanda. Pakubuwono II ditemani Tumenggung Wiratirta melarikan diri ke arah timur menuju Madiun.
Sesampai Desa Taman Arum, Setono, Karanggebang dan Sawo, mereka mendengar keberadaan seorang kiai dari Tegalsari yang bernama Kiai Ageng Muhammad Besari. Konon, saat tengah malam, Pakubuwono II mendengar suara gemuruh seperti gerombolan lebah yang keluar dari sarangnya. Pakubuwono II segera menemui Tumenggung Wiratirta dan bertanya, “Tumenggung, dari mana asal suara lebah itu?"
“Maaf Baginda, itu bukan suara lebah, tapi itu suara Kiai Ageng Muhammad Besari dan para muridnya yang sedang berdzikir," jawab Tumenggung Wiratirta.
Kemudian Pakubuwono II mengajak Tumenggung Wiratirta untuk sowan kepada pendiri Pesantren Tegalsari ini, Kiai Ageng Muhammad Besari menyambut kedatangan Raſa Mataram ini dengan penuh hormat. Pakubuwono l mluita bantuan Kiai Ageng Muhammad Besari untuk merebut kerajaanriya kembali. Kelak jika kerajaannya telah berhasil dikuasai, Pakubuwono II berjanji akan menjadikan Desa Tegalsari sebagai tanah perdikan, yakni wilayah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Singkat cerita, setelah kerajaan dapat direbut kembali, Pakubuwono Il menempati janjinya untuk menjadikan Tegalsari sebagai tanah perdikan.
Kiai Ageng Muhammad Besari juga ditawari Pakubuwono Il untuk menjadi Bupati Ponorogo, namun pendiri Pesantren Tegalsari ini menolaknya. Kiai Ageng Muhammad Besari hanya menerima tawaran menjadikan Tegalsari sebagai tanah perdikan. Sebuah sumber menyebutkan bahwa Kiai Ageng Muhammad Besari pernah menerima tawaran Pakubuwono II untuk menjadi penghulu. Sebagai perbandingan, selain menjadikan Tegalsari sebagai tanah perdikan, Pakubuwono II juga melakukan hal yang sama terhadap wilayah Pamijahan Tasikmalaya, Jawa Barat yang didiami Syaikh Abdul Muhyi (w. 1730), seorang ulama yang makamnya selalu ramai oleh para peziarah. Jadi, wilayah Pamijahan juga menjadi tanah perdikan seperti Tegalsari.
Setelah Tegalsari menjadi tanah perdikan, semakin banyak orang yang belajar kepada Kiai Ageng Muhammad Besari. Bangunan pesantren semakin bertambah. Nama Pesantren Tegalsari semakin terkenal. Pengajaran kitab-kitab berbahasa Arab sebagaimana pesantren saat ini sudah dilakukan saat itu. Pendek kata, Pesantren Tegalsari sudah cukup maju pada zamannya. Kiai Ageng Muhammad Besari wafat pada 1773.
Perkembangan Pesantren Tegalsari
Setelah Kiai Ageng Muhammad Besari wafat, sebagai penerusnya adalah Kiai Ilyas (1773-1800), lalu Kiai Kasan Yahya/Hasan Yahya (1773-1800). kemudian Kiai Kasan Besari/Kiai Hasan Besari (1800-1862). Saat dipimpin Kiai Kasan Besari ini, Pesantren Tegalsari mengalami perkembangaan yang pesat. Tidak banyak informasi mengenai asal usul maupun pendidikan Kiai Kasan Besari. Informasi yang ada hanya menyebutkan bahwa tokoh ini adalah menantu Pakubuwono IV. Namun namanya begitu harum jika dihubungkan dengan Pesantren Tegalsari. Tokoh ini dikenal sebagai orang yang mendalam ilmu agamanya, menguasai kesusastraan Jawa dan memiliki kesaktian yang tinggi. Memang pada zaman itu, untuk mengasuh pesantren, selain diperlukan kedalaman ilmu agama, juga kesaktian atau ilmu kanuragan yang tinggi.
Para santri yang belajar di Pesantren Tegalsari tidak hanya berasal dari Ponorogo, namun dari berbagai daerah di pulau Jawa, seperti Banten,Priyangan, Cirebon, Karawang, Yogyakarta, Kedu, Bagelan, Surakarta, Pacitan, dan Madiun. Konon jumlah santrinya lebih dari 1000 orang, jumlah yang sangat banyak untuk ukuran pesantren saat itu. Bahkan, seorang peneliti bernama Van der Chijs memperkirakan jumlah santri yang belajar di pesantren ini mencapai 3000 orang. Para santri Tegalsari , selain dikenal keluasannya dalam ilmu agama, juga memiliki kesaktian yang tinggi.
Kiai Kasan Besari watat pada tanggal 9 Januari 1862 dalam tahun. Beliau meninggalkan 10 orang anak dan 44 orang cucu. Anak sulungnya berusia 70 tahun dan anak bungsunya berusia 26 tahun. Setelah kiai ini wafat, Desa Tegalsari dipisahkan dari Karanggebeng dan Pohlima, Sebagai kepala tunah perdikan adalah Raden Kasan Ripangi, putra Kiai Kasan Besari dari istrinya yang merupakan putri Pakubuwono IV. Dan sebagai penerus Kiai Kasan Besari meneruskan memimpin Pesantren Tegalsari adalah Kiai Kasan Anom, anak sulung dari istri pertama. Kiai Kasan Anom wafat pada 1873.
usia 100
Santri Pesantren Tegalsari tidak dipungut biaya. Mereka yang berasal dari keluarga kaya datang ke pesantren dengan membawa bekal dari rumah (beras). Adapun santri yang berasal dari keluarga kurang mampu membantu kiai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka membantu kiai sebagai abdi ndalem. Mereka tinggal di asrama atau bilik-bilik di sekitar masjid. Asrama ini terbuat dari anyaman bambu. Tiap kamar terdapat rak yang terbuat dari bambu untuk menyimpan buku atau kitab.
Semenjak meninggalnya Kiai Kasan Besari, jumlah santri Pesantren Tegalsari terus mengalami penurunan. Hingga akhirnya tak lebih dari 100 orang yang mendiami tempat ini. Namun, Pesantren Gontor yang didirikan oleh keturunan Kiai Ageng Muhammad Besari terus mengalami perkembangan. Jadi, pada dasarnya ilmu yang diajarkan di Pesantren Tegalsari terus bermanfaat bagi masyarakat melalui kehadiran Pesantren Gontor.
Banyak pemilik nama besar yang dikenal masyarakat hingga
saat ini merupakan alumni Pesantren Tegalsari. Di antara mereka adalah, sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini, Raden Ngabehi Ronggowarsito (w. 1875), seorang pujangga asal Kasunanan Surakarta yang bernama asli Bagus Burhan. Tokoh lainnya adalah Kiai Abdul Mannan alias Mas Bagus Sudarso, pendiri Pesantren Tremas Pacitan. Kiai Abdul Mannan ini adalah kakek dari Syaikh Mahfuzh al-Turmusi (w. 1920), pengajar di Masjidil Haram dengan karyanya yang berjilid-jilid. Alumnus Pesantren Tegalsari lainnya adalah Kiai Mujahid yang menjadi pengasuh Pesantren Sidoresman Surabaya. Kemudian ada Hadji Oemar Sa'id Tjokroaminoto atau HOS Cokroaminoto, tokoh pergerakan nasional yang menjadi pimpinan Sarekat Islam (SI).
Seperti disebutkan di atas, Raden Ngabehi Ronggowarsito yang dijuluki sabagai Bapak Kebatinan adalah seorang pujangga Jawa kenamaan. Karya tokoh ini yang paling terkenal adalah Serat Wirid Hidayat Jati.1 Pemikiran tokoh ini sebenarnya cukup kontroversial jika kita melihatnya dari ilmu tasawuf. Ronggowarsito mengajarkan apa yang disebut shalat daim yang tidak sama dengan shalat yang kita kenal, seperti ada berdirinya, ada rukuknya, ada sujudnya, dan seterusnya.
Kata Ronggowarsito dalam Serat Hidayat Jati, sebagaimana dikutip M. Rasjidi dalam karyanya Islam dan Kebatinan, adalah “Aku berniat shalat daim, untuk selama hidupku. Berdirinya adalah hidupku, rukuknya adalah mataku, i'tidalnya adalah telingaku, sujudnya adalah hidungku, bacaan ayatnya adalah mulutku, duduknya adalah tetapnya imanku, tahiyatnya adalah kuatnya tauhidku, salamnya adalah ma'rifat Islamku, kiblatnya adalah menghadap kepada pikiranku, sebagai menunaikan wajib atas kodratku sendiri, kemudian menyerah kepada Zat Hidup kita sendiri." (Niat ingsun shalat daim, kanggo ing salawase urip ingsun. Adege iyo urip ingsun, rukuke iyo paningal ingsun, i'tidale iyo pamiyarso ingsun, sujude iyo pangambu ingsun, wawacaning ayat iyo pangucap ingsun, lungguhe iyo tetepe iman ingsun, tahiyate iyo manteping tauhid ingsun, salame ma'rifat Islam ingsun, kiblate iyo madep marang eneng-eneng ingsun. Perlu ngalakoni wajib saka kodrat irodat ingsun dewe, lajeng pasrah nalongso Dat ing Gesang kito pribadi.)2
Ronggowarsito mengajarkan shalat daim yang bukan shalat sebagaimana dikenal umat Islam. Itu hanyalah salah satu dari ajaran Ronggowarsito yang kontroversial. Pertanyaannya adalah apakah tokoh ini mempelajari ilmu tersebut dari Pesantren Tegalsari atau dari Kiai Kasan Besari. Untuk menjawabnya, kita dapat menelusurinya dari perjalanan hidup tokoh ini. Di bawah ini diuraikan sekilas tentang biografi Ronggo warsito
Tentang Raden Ngabehi Ronggowarsito
Lahir di wilayah Pasar Kliwon Surakarta (Solo), 18 Maret 1802, Raden Ngabehi Ronggowarsito atau Raden Ngabehi Ronggowarsito III bernama asli Bagus Burhan atau Bagus Burham menurut pendapat lain. Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito diberikan oleh Pakubuwono VII pada 1830 setelah Bagus Burhan diangkat sebagai kliwon carik atau pujangga istana. Bagus Burhan adalah putra Raden Ngabehi Ronggowarsito II. Kampung kelahiran Ronggowarsito disebut Yosodipuran karena menjadi kediaman Yosodipuro I dan Yosodipuro II. Dan Bagus Burhan adalah keturunan Yosodipuro yang terkenal sebagai pujangga atau sastrawan. Yosodipuro I pernah berpesan kepada Yosodipuro II (kakek Bagus Burhan) agar Bagus Burhan dididik menjadi pujangga.
Saat berusia 12 tahun, Bagus Burhan dimasukkan ke Pesantern Tegalsari Ponorogo yang saat itu diasuh Kiai Kasan Besari. Untuk mengawasi Bagus Burhan, Yosodipuro I memerintahkan Ki Tanujoyo untuk menemani Bagus Burhan di Tegalsari. Konon awal masuk pesantren ini, Bagus Burhan tergolong anak yang nakal. Dia malas mengaji, sering bermain judi, mengadu ayam, dan lain-lain. Ki Tanujoyo yang menemani Bagus Burhan tidak melarangnya, bahkan dia menunjukkan kemampuannya berhubungan dengan makhluk halus. Singkat cerita, Bagus Burhan akhirnya tidak kerasan di Tegalsari.
Suatu ketika, Bagus Burhan digertak oleh Kiai Kasan Besari. Bagus Burhan akhirnya lari meninggalkan Pesantren Tegalsari. Dalam pelariannya, Bagus Burhan akhirnya menyadari kesalahannya. Dia kembali lagi ke pesantren dan bertaubat. Konon Bagus Burhan melakukan tirakat atau bertapa dengan merendam diri (tapa kungkum) dalam sungai Watu selama 40 malam. Tiap hari dia hanya makan satu buah pisang klutuk. Pada malam yang terakhir, Ki Tanujoyo menanak nasi untuk Bagus Burhan. Ketika sedang menunggu nasi matang, Ki Tanujoyo melihat benda bersinar seperti bola yang masuk ke dalam periuk yang digunakan untuk menanak nasi. wtelah nasinya masak, lalu Ki Tanujoyo membuka periuknya dan di dalamnya ternyata ada seekor ikan wader yang sudah matang. Kemudian Ki Tanujoyo mempersilakan Bagus Burhan makan nasi dengan lauk ikan wader itu. Nah, konon setelah makan ini, Bagus Burhan langsung menjadi anak yang pandai meski tanpa belajar. Dia mendapatkan wahyu kapujanggan dalam istilah Jawa, semacam ilmu laduni dalam istilah pesantren, yakni ilmu yang langsung diberikan Allah kepada hamba-Nya tanpa melalui proses belajar.
Versi lain menyebutkan bahwa ketika lari dari pesantren, Bagus Burhan menginap di rumah seorang guru ngaji bernama Ki Mukitab yang ada di Desa Poncol. Nah, dalam periuk nasi di kediaman Ki Mukitab ditemukan ikan lele. Nasi dan ikan lele ini kemudian dimakan Bagus Burhan. Terlepas dari kebenaran cerita ini, cerita ini menjadi semacam legitimasi untuk menunjukkan bagaimana proses Bagus Burhan mendapatkan ilmu.
Selepas dari Pesantren Tegalsari, Bagus Burhan belajar kepada adik Pakubuwono IV yang bernama Panembahan Buminoto. Kepada tokoh yang disebut terakhir ini, Bagus Burhan belajar kesaktian atau kekebalan.
Adapun karir Bagus Burhan sebagai pujangga istana dimulai menjadi carik (semacam juru tulis) Kadipaten Anom dengan gelar Mas Rangga Pajanganom (1819), lalu menjadi mantri carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka (1822), kemudian menggantikan ayahnya menjadi kliwon carik dengan gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito III (1830). Jadi, ayah Bagus Burhan bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito II, sedangkan Bagus Burhan bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito III. Hanya saja dalam perkembangannya, gelar Bagus Burhan hanya ditulis Raden Ngabehi Ronggowarsito, tanpa embel-embel keberapa. Jabatan kliwon carik seting-kat di bawah jabatan tumenggung. Pada 1845, Bagus Burhan diangkat sebagai pujangga istana, menggantikan kakeknya, Yosodipuro II, namun pangkatnya tetap kliwon carik.
Selain Serat Hidayat Jati, karya Bagus Burhan alias Ronggowarsito adalah Sabda Prananawa, Serat Kalatidha, Serat Sabda Jati, Serat Suluk Saloka Jiwa, Serat Suluk Saloka Jawa, Serat Suluk Supanalaya, Serat Pamoring Kawula Gusti, Serat Suluk Suksma Lelono, Serat Paramayoga, Paramasastra Jawa (judul terakhir ini ditulis bersama C.F. Winter, seorang Belanda yang menjadi juru bahasa istana). Sekadar tambahan, ungkapan orang Jawa sak beja-bejane kang lali luwih beja kang eling las waspada (seberuntungnya orang yang lupa masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada) adalah potongan kalimat dari isi Serat Kalatidha.3 Menurut Karkono Parta Kusuma, sebagaimana dikutip oleh Alwi Shihab dalam karyanya Islam Sufistik, diperkirakan jumlah karya Ronggowarsito lebih dari 50 buah. +
Bagus Burhan alias Raden Ngabehi Ronggowarsito wafat pada tanggal 24 Desember 1875. Makamnya dapat ditemukan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makam tokoh ini sering diziarahi orang-orang yang mengeramatkannya. Mengenai kematiannya, ada yang menyebutkan bahwa Ronggowarsito dibunuh oleh orang suruhan Pakubuwono IX dan Belanda. Karena, raja ini tidak menyukai Ronggowarsito. Ada juga yang mengatakan bahwa Ronggowarsito sudah mengetahui kapan kematiannya akan datang seperti diungkapkannya dalam Serat Sabda Jati. Terlepas dari informasi mana yang lebih dapat dipercaya, Ronggowarsito adalah seorang pujangga besar dan pernah belajar di Pesantren Tegalsari.
Nah, jika kita mengetahui perjalanan hidup Ronggowarsito ini, dapat disimpulkan bahwa ajaran kontroversial kejawen dari sang tokoh ini, sebagaimana dituliskan dalam Serat Hidayat Jati, bukan berasal dari pelajaran di Pesantren Tegalsari. Memang, Kiai Kasan Besari adalah menantu Pakubuwono IV sehingga memiliki kesempatan untuk mengakses kepustakaan Islam kejawen. Tapi mengapa hanya Ronggowarsito, murid Kiai Kasan Besari, yang terkenal sebagai tokoh kejawen yang di kemudian hari dikenal sebagai Bapak Kebatinan? Mengapa Kiai Abdul Mannan, murid Kiai Kasan Besari yang mendirikan Pesantren Tremas, tidak mengajarkan ajaran yang kontroversial itu?
Ronggowarsito, sebagaimana disebutkan di atas, adalah keturunan Yosodipuran, yakni sebuah keluarga yang dikenal sebagai gudangnya pujangga. Maka, keahlian Ronggowarsito dalam hal tulis menulis juga merupakan bakat yang diperoleh dari ayah (Raden Ngabehi Ronggowarsito II) dan kakeknya (Yosodipuro II). Jadi, Ronggo warsito alias bagus Burhan memiliki kesempatan yang luas untuk mempelajar karya bol sebelumnya. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa ajaran meja viens 26 warsito yang kontroversial diperoleh dan pelajaran on Pesantren Meski tidak dapat dipungkan jika kiai Kasan Besar 330. kesustraan Jawa karena menjadi menantu Pakubuwono IV.
Comments