Akhir abad XIX hingga awal abad XX, tokoh Islam paling kharismatik di lawa Madura adalah Syaikhana Khalil, panggilan akrab KH. Muhammad Khahl Bangkalan, Madura. Beliau menjadi guru hampir semua kiai pendiri atau pengasuh pesantren besar di Jawa. Tercatat nama-nama seperti Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari (pendiri Pesantren Tebuireng Jombang), Mbah Manab (pendiri Pesantren Lirboyo Kediri), KH. R. Syamsul Arifin pendiri Pesantren Sukorejo Situbondo), dan lain-lain yang merupakan murd Syaikhana Khalil. Cerita-cerita mistik yang tidak masuk akal (khariqul 'adah) juga banyak ditemukan dalam keseharian Syaikhana Khalil. Hal itu menambah pengakuan masyarakat akan kewalian tokoh ini. Karena, seorang wali (kekasih Allah), bagi sebagian masyarakat, dipercaya memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai orang kebanyakan.
Latar Belakang Keluarga
Banyak tokoh Islam atau pendiri pesantren yang merupakan keturunan bangsawan, ulama atau orang besar. Ada nilai lebih tersendiri bagi masyarakat jika seseorang berasal dari keturunan tokoh besar. Syaikhana Khalil juga merupakan keturunan orang besar. Tokoh ini dipercaya masih keturunan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, salah seorang Walisongo yang dimakamkan di Cirebon, Jawa Barat. Bahkan, jika ditelusuri ke atas, silsilah Syaikhana Khalil akan sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w. Hanya saja, ada yang menyebut beliau keturunan ke-30 atau ke-33 dari Nabi Muhammad. Ibnu Assayuthi Arrifa'i dalam bukunya menyebutkan tiga versi silsilah Syaikhana Khalil.1 Versi pertama adalah Syaikhana Khalil bin Kiai Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharrom bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman Mojoagung bin Sunan Gunung Jati. Versi pertama ini berdasarkan catatan KH. R. Syamsul Arifin Sukorejo Situbondo.
Versi kedua yaitu Syaikhana Khalil bin Kiai Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Asror bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman (dimakamkan di Mojoagung Jombang) bin Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati (dimakamkan di Cirebon) bin Maulana Umdaduddin Abdullah (wafat di Cina) bin Maulana Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar (wafat di Bukis) bin Sayyid Ahmad Syah Jalal (wafat di Hindustan) bin Sayyid Abdullah Azhimah Khan (wafat di Hindustan) bin Sayyid Abdul Malik (wafat di Hindustan) bin Sayyid Ali (wafat di Tarim Hadlramaut Yaman) bin Sayyid Muhammad Shahib Murbad (wafat di Dhifar) bin Sayyid Ali Khalil Qasim (wafat di Tarim Hadlramaut Yaman) bin Sayyid Alwi (wafat di Bait Khabir) bin Sayyid Muhammad (wafat di Bait Khabir) bin Sayyid Alwi (wafat di Sahal) bin Sayyid Abdullah (wafat di al-Ardibur) bin Sayyid Ahmad Muhajir (wafat di Sahab) bin Sayyid Isa (wafat di Basrah) bin Sayyid Muhammad Tsaqib (wafat di Basrah) bin Sayyid Ali al-Uraidli (wafat di Madinah) bin Sayyid Ja'far Shadiq (wafat di Madinah) bin Sayyid Muhammad Baqir (wafat di Madinah) bin Sayyid Ali Zainal Abidin (wafat di Madinah) bin Sayyid Husain (wafat di Karbala) bin Sayyidah Fathimah alZahra binti Nabi Muhammad s.a.w. Versi kedua ini menurut catatan KH. Abdullah Sachal.
Lalu versi ketiga adalah Syaikhana Khalil bin Kiai Abdul Lathif bin Kiai Abdul Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman bin Syarifah Khadijah binti Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati bin Maulana Umdaduddin Abdullah bin Maulana Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar bin Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Sayyid Abdullah Azhimah Khan bin Sayyid Abdul Malik bin Sayyid Ali bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbad bin Sayyid Ali Khalil Qasim bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Abdullah al-Ardibur bin Sayyid Ahmad Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad Tsaqib bin Sayyid Ali al-Uraidli bin Sayyid Ja'far Shadiq bin Sayyid Muhammad Baqir bin Sayyid Ali Zainal Abidin bin Sayyid Husain bin Sayyidah Fathimah al-Zahra binti Nabi Muhammad s.a.w. Versi ketiga ini merupakan penggabungan dari catatan Kiai Syamsul Arifin, Kiai Abdullah Sachal dan Sayyid Isa bin Muhammad al-Kaff.
Syaikhana Khalil lahir pada 1225 H/1835 M. Ayahnya bernama Kiai Abdul Lathur Penulis tidak memperoleh informasi mengenai nama ibu Syaichana Khalil. Syaikhana Khalil lahir di Kampung Senenan, Desa Kemayoran Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan Syaikhana Khalil berasal dari keluarga ulama Ayahnya, Klai Abdul Lathif, dikenal sebagai seorang ulama. Ada yang menyebutkan bahwa Kiai Abdul Lathif adalah seorang da'i keliling Beliau berdakwah dengan berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Beliau lebih mementingkan kehidupan akhirat atau zuhud semenjak ditinggal istrinya. Karena itu, Kiai Abdul Lathif jarang ada di rumah.
Suatu ketika Kiai Abdul Lathif menemui anak perempuannya yang bernama Nyai Maryam, kakak Syaikhana Khalil. Kiai Abdul Lathif bersama anak kecil berusia tujuh tahun. Kiai Abdul Lathif berkata, “Maryam, aku telah menikah lagi. Tolong didik adikmu ini seperti aku mendidikmu.”
Nyai Maryam bersama suaminya dengan senang hati mendidik anak kecil tersebut. Anak kecil ini tidak lain adalah Syaikhana Khalil. Jadi, Syaikhana Khalil kecil diasuh oleh kakaknya setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi.
Rihlah Ilmiah
Orang yang pertama kali mengajar Syaikhana Khalil adalah Kiai Abdul Lathif, sang ayah. Seperti disebutkan di atas, Syaikhana Khalil diasuh ayahnya hingga berumur tujuh tahun, kemudian beliau diasuh Nyai Maryam dan Kiai Kaffal. Nyai Maryam adalah kakak Syaikhana Khalil, dan Kiai Kaffal adalah kakak iparnya (suami Nyai Maryam). Mereka mengajari Syaikhana Khalil dasar-dasar ilmu agama Islam, terutama cara membaca alQur'an. Setelah pelajaran tingkat dasar ini dirasa cukup, Syaikhana Khalil dikirim untuk belajar ke beberapa pesantren.
Awalnya Syaikhana Khalil belajar ke sejumlah pesantren di Bangkalan. Penulis tidak memperoleh nama pesantren yang dimaksud. Lalu pada 1850-an, Syaikhana Khalil melangkahkan kakinya menuju tanah Jawa. Tercatat ada lima pesantren yang pernah menjadi tempatnya belajar, yaitu Pesantren Langitan Tuban yang diasuh Kiai Muhammad Nur yang merupakan pendiri pesantren ini, Pesantren Cangaan Bangil Pasuruan di bawah asuhan Kiai Asyik yang juga merupakan pendiri pesantren ini, Pesantren Darussalam Candi Pasuruan di bawah asuhan Kiai Arif yang juga menjadi pendiri pesantren ini, Pesantren Sidogiri Pasuruan yang saat itu diasuh oleh Kiai Noerhasan, dan sebuah pesantren di Banyuwangi yang tidak diketahui namanya.
Syaikhana Khalil belajar di Pesantren Sidogiri tapi tinggal di Pesantren Candi. Jarak antara keduanya sekitar tujuh kilometer. Syaikhana Khalil menuju Sidogiri dari Candi dengan berjalan kaki. Maklum, saat itu memang belum banyak kendaraan seperti sekarang. Selain itu, berjalan kaki ini juga merupakan bentuk tirakat atau riyadhah. Selama dalam perjalanan, Syaikhana Khalil selalu membaca surah Yasin sehingga berhasil mengkhatamkannya berkali-kali. Ketika memasuki komplek Pesantren Sidogiri, Syaikhana Khalil melepas sandalnya sebagai bentuk penghormatan kepada orang-orang yang dimakamkan di samping pesantren. Lalu, mengapa Syaikhana Khalil tidak pindah saja ke Sidogiri sehingga tidak perlu berjalan kaki sejauitu?
Ternyata ada alasan tersendiri mengapa Syaikhana Khalil memilih berjalan kaki Di Pesantren Candi, Syaikhana Khalil bekerja sebagai buruh batik untuk memenuhi kebutuhannya. Jika pindah ke Sidogiri, tentu saja beliau tidak memperoleh penghaslan untuk biaya hidup. Padahal, ayah Syaikhana Khalil, Kiai Abdul Lathif, sebenarnya tergolong orang kaya. Kiai Abdul Lathif memiliki tanah yang luas, baik lahan pertanian maupun perkebunan. Tidak berat bagi Kiai Abdul Lathif untuk membiayai atau mengirimi uang kepada Syaikhana Khalil selama belajar di Jawa. Akan tetapi, Syaikhana Khalil tidak mau merepotkan ayahnya dan memilih untuk mencari penghasilan sendiri.
Saat belajar di sebuah pesantren di Banyuwangi, Syaikhana Khalil juga sambil bekerja buruh petik kelapa dengan upah tiga sen (mata uang saat itu) untuk setiap 80 pohon. Namun upah yang diperoleh lebih banyak diberikan kepada gurunya. Tak jarang Syaikhana Khalil ikut menjadi khadam (pembantu) kiai untuk melayani kebutuhan gurunya sehari-hari, seperti memasak, mengisi bak mandi, dan lain-lain. Syaikhana Khalil terkadang juga menjadi juru masak untuk teman-temannya. Dari situlah Syaikhana Khalil memperoleh makanan sebagai penyambung hidup. Setelah cukup lama belajar di sejumlah pesantren, Syaikhana Khalil melanjutkan belajar ke tanah suci. Beliau berangkat ke sana sekitar tahun 1859.
Perjalanan ke tanah suci saat itu membutuhkan waktu berbulan-bulan, tidak hanya beberapa jam seperti sekarang. Alat transportasinya juga hanya berupa kapal laut. Selama dalam perjalanan, siang harinya digunakan Syaikhana Khalil untuk berpuasa dan malam harinya digunakan untuk berdzikir. Dan setelah sampai di sana, Syaikhana Khalil segera bergabung
dengan orang orang Indonesia yang sudah mukim di tanah suci. Memang saat itu sudah banyak orang Melayu (berasal dari Indonesia dan negara sekitar yang bermukim di sana yang dikenal sebagai al Jawi. Syaikhana Khalil pulga segera belajar ke sejumlah ulama dalam berbagai madzhab, namun akhirnya tokoh ini lebih condong kepada madzhab Syafi'i dalam bidang fikih (hukum Islam)
Kebiasaan Syaikhana Khalil hidup sederhana kembali dilakoninya saat di tanah suci. Konon selama empat tahun, Syaikhana Khalil hidup dengan sering makan kulit semangka dan minum dari air zamzam. Tentu saja kebiasaan Syaikhana Khalil mengherankan banyak orang, termasuk temantemannya. Namun Syaikhana Khalil tetap bertahan dengan kebiasaan anehnya ini. Jika ingin buang hajat, Syaikhana Khalil tidak mau melakukannya di Tanah Haram. Beliau selalu mencari tempat di luar Tanah Haram. Yang dilakukan Syaikhana Khalil ini sebagai bentuk penghormatan kepada Tanah Haram.
Konon semua baju Syaikhana Khalil berwarna putih ketika belajar di tanah suci. Baju putih ini digunakan sebagai tempat untuk menulis. Jadi, ketika sedang belajar, Syaikhana Khalil menuliskan pelajarannya di baju. Kemudian beliau mempelajari kembali tulisan-tulisan tersebut. Dan setelah memahami, dan jika perlu juga menghafalkannya, Syaikhana Khalil menghapus tulisan-tulisan dengan mencuci baju tersebut. Baju akan dipakai lagi, ditulisi lagi, dibaca tulisannya, dicuci, dipakai lagi, begitu seterusnya. Cara yang ditempuh Syaikhana Khalil ini memang tergolong unik. Barangkali, beliau menuliskan pelajarannya di baju agar termotivasi untuk segera mempelajarinya kembali. Karena, baju tersebut akan dicuci dan dipakai lagi.
Syaikhana Khalil kembali bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana yang dulu juga pernah dilakukannya ketika belajar di pesantren. Syaikhana Khalil menulis beberapa risalah atau kitab yang kemudian dijual. Yang paling sering ditulis adalah kitab Alfiyah Ibn Malik yang dijual seharga 200 real per kitab. Keahliannya dalam menulis khath (kaligrafi Arab) juga dimanfaatkan. Seperti yang pernah dilakukan di pesantren, Syaikhana Khalil tak lupa menyisihkan sebagian besar uang sakunya untuk guru-guru yang sangat dihormatinya. Di antara guru-guru Syaikhana Khalil adalah Syaikh Ali al-Mishri, Syaikh Umar al-Sami, Syaikh Khalid al-Azhari, Syaikh al-Aththar, dan Syaikh Abu al-Naja.
Syakhana Khalil juga memperdalam ilmu tasawuf kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1872), seorang ulama asal Sambas, Kalimantan Barat yang menggabungkan Tarekat Qadinyah dan Tarekat Naqsyaban. diyah. Bahkan, Syaikhana Khalil juga diangkat menjadi mursyid tarekat ini. Selain Syaikhana khalil, murid Syaikh Ahmad Khatib Sambas lainnya adalah Syaikh Abdul Karim Banten dan Syaikh Thalhah Cirebon
Guru Syaikhana Khalil lainnya adalah Syaikh Ali Rahbini. Tokoh yang disebut terakhir ini adalah orang yang tuna netra. Syaikhana Khalil sangat menghormati Syaikh Ali Rahbini. Syaikhana Khalil sering tidur di depan pintu masjid dengan harapan Syaikh Ali Rabbini akan menginjak tubuhnya sehingga dapat menuntun Syaikh Ali Rahbini menuju pengimaman. Syaikh Ali Rahbini imlah yang akhirnya menyuruh Syaikhana Khalil untuk pulang ke Indonesia karena ilmunya sangat diperlukan banyak orang
Membangun Rumah Tangga
Syaikhana Khalil menikah dua kali Istri pertamanya bernama Nyal Asyik dan istri keduanya bernama Nyai Misi. Dari pernikahannya dengan Nyai Asyik, Syaikhana Khalil dikaruniai dua orang anak, yaitu Muhammad Imran dan Rahmah. Muhammad Imran menikah dengan Mutmainah dan dikaruniai tujuh orang anak, sedangkan Rahmah menikah dengan KH. Doro Muntaha dan dikaruniai dua orang anak. Kiai Doro Muntaha, menantu Syaikhana Khalil, ikut hadir dalam rapat para kiai di Surabaya yang menghasilkan lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926. Kiai Doro Muntaha ini masih keponakan Syaikhana Khalil.
Salah seorang anak pasangan Muhammad Imran dan Mutmainah hernama Romlah (cucu Syaikhana Khalil). Romlah menikah dengan KH. Zahrawi dan dikarunia empat orang anak. Anak kedua mereka bernama KH. Abdullah Sachal yang pernah menjadi pengasuh Pesantren Syaikhana Demangan dan anak ketiga bernama KH. Kholil AG yang menjadi pengasuh Pesantren Syaikhana Il Demangan. Adapun pernikahan Syaikhana Khalil dengan Nyai Misi membuahkan seorang anak bernama Asma. Asma menikah dengan KH. Yasin dan dikaruniai 12 orang. Jadi, Syaikhana Khalil mempunyai tiga orang anak dan 21 cucu.
Mendirikan Pesantren Derangan
Tidak ada keterangan tahun berapa Syaikhana Khalil pulang ke Indonesia, Relian pulang ke Indonesia sebagai orang yang alim, hafal al-Qur'an, sangat menguasai ilmu tata bahasa Arab (nahwu sharaf) dan fikih, serta sehaggai mursyid tarekat. Syaikhana Khalil tidak langsung mendirikan pesantren, namun mencari cara yang tepat terlebih dahulu untuk mengamalkan ilmunya.
Konon sepulang dari tanah suci, Syaikhana Khalil bekerja sebagai penjaga malam di Bangkalan. Sambil jaga malam, Syaikhana Khalil tidak lupa membawa kitab-kitab untuk dibaca. Para pegawai lainnya akhirnya mengenal Syaikhana Khalil sebagai orang yang pandai, bukan orang sembarangan. Itu terlihat dari kebiasaan beliau membawa dan membaca bukubuku berbahasa Arab (kitab) yang tidak dimampu dibaca orang kebanyakan
Berita bahwa Syaikhana Khalil adalah orang yang pandai akhirnya sampai kepada Kanjeng Adipati (bupati dalam istilah sekarang). Kanjeng Adipati segera menemui Syaikhana Khalil karena merasa tertarik dengan kepribadiannya. Kemudian, Syaikhana Khalil ditunjukkan dengan koleksi buku-buku di perpustakaan Kanjeng Adipati. Buku-buku tersebut berjumlah sangat banyak dan berbahasa Arab. Tentu saja Syaikhana Khalil sangat senang. Karena, sangat jarang orang yang mempunyai kitab sangat banyak saat itu. Buku-buku atau kitab-kitab ini sebenarnya bukan milik Kanjeng Adipati, tapi warisan leluhurnya yang merupakan para ulama. Kanjeng Adipati sendiri tidak bisa membaca kitab-kitab tersebut. Kanjeng Adipati adalah keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang silsilah nasabnya sampai kepada Sunan Giri, salah seorang Walisongo yang makamnya ada di Gresik.
Lambat laun Kanjeng Adipati merasa tidak tepat jika Syaikhana Khalil menjadi penjaga malam. Akhirnya Syaikhana Khalil dipindahkan menjadi pengajar untuk keluarga sang adipati. Jadi, Syaikhana Khalil mengajar bangsawan Bangkalan. Mereka memandang dan memperlakukan Syaikhana Khalil sebagai seorang ulama, bukan lagi penjaga malam. Di antara keluarga Adipati Bangkalan ada yang bernama Raden Lodrapati. Tokoh yang disebut terakhir ini tertarik untuk mengangkat Syaikhana Khalil sebagai menantu. Lodrapati mempunyai anak perempuan bernama Nyai Asyik. Setelah Syaikhana Khalil menerima tawaran ini, pernikahan
dilaksanakan pada tahun 1861, Nyai Asyik adalah istri pertama Syaikhana Khalil
Setelah menikahi Nyai Asyik, Syaikhana Khalil dihadiahi sebidang tanah oleh mertuanya, Raden Lodrapati , di Desa Jangkibuan (Cengkububan) Bangkalan, sekitar satu kilometer arah barat laut dari tanah kelahiran Syaikhana Khalil. Di lahan baru ini, Syaikhana Khalil membangun rumah dan pesantren. Kegiatan lamanya mengajar keluarga adipati juga masih dilakukan. Sedikit demi sedikit para santri berdatangan mengaji kepada Syaikhana Khalil. Kealiman Syaikhana Khalil tersebar ke mana-mana, tidak hanya di pulau Madura saja. Banyak juga santri Syaikhana Khalil yang berasal dari Jawa,
Cukup lama Syaikhana Khalil tinggal di Jangkibuan hingga anak-anaknya dewasa. Putri Syaikhana Khalil yang bernama Rahmah sudah saatnya hidup berumah tangga. Lalu Syaikhana Khalil menjodohkan putrinya ini dengan keponakannya yang bernama Kiai Doro Muntaha. Dia adalah kiai muda yang tidak diragukan lagi kealimannya. Kiai Doro Muntaha ini pernah mengikuti rapat berdirinya NU di Surabaya pada 31 Januari 1926, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Selanjutnya, Syaikhana Khalil menyerahkan Pesantren Jangkibuan agar diasuh menantunya. Syaikhana Khalil memilih pindah ke daerah Demangan, sekitar 200 meter arah barat alun-alun Bangkalan
Di tempat baru ini Syaikhana Khalil kembali mendirikan pesantren. Karena terletak di Desa Demangan, pesantren ini dikenal dengan nama Pesantren Demangan. Tak butuh waktu lama Syaikhana Khalil untuk mendapatkan santri. Maklum, Syaikhana Khalil telah menjadi pengasuh pesantren sebelumnya. Tidak ada informasi yang pasti kapan Syaikhana Knalil mendirikan Pesantren Demangan. Diperkirakan pesantren ini didirikan pada pertengahan abad XIX.
Konon santri pertama yang belajar kepada Syaikhana Khalil adalah seorang pemuda asal Jombang yang bernama Muhammad Hasyim. Di kemudian hari, pemuda ini dikenal sebagai Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari. Syaikhana Khalil mempunyai peran besar dalam proses berdirinya Nu, meski beliau wafat pada 1925 dan NU lahir pada 1926. Ketika kiai Hasyim masih ragu untuk mendirikan organisasi ini, Syaikhana Khalil mengirimkan santrinya yang bernama As'ad Syamsul Arifin untuk menemui Kiai Hasyim di Tebuireng (Selengkapnya, lihat pembahasan Pesantren
Sukorejo Asembagus Situbondo). Banyak cerita yang terkadang tidak masuk akal tentang cara mengajar Syaikhana Khalil maupun kehidupan sehari harinya. Di bawah ini diceritakan beberapa di antaranya.
(1) Bulan Syawal adalah tahun ajaran baru di pesantren. Karena, kegiatan belajar mengajar dimulai pada bulan Syawal dan diakhiri pada bulan Sya'ban. Ramadhan sebagai hari libur panjang. Sehingga para santri baru banyak berdatangan pada bulan Syawal. Suatu hari pada bulan Syawal, Syaikhana Khalil memberitahu santrinya untuk hati-hati jika ada macan. Para santri segera bersiap-siap dengan membawa benda-benda tajam yang ada, seperti kayu, tongkat, celurit, dan lain-lain. Hari demi demi hari macan itu pun belum juga kelihatan. Tak terasa hari telah memasuki minggu ketiga.
"Assalamualaikum," terdengar suara di depan pintu rumah Syaikhana Khalil. Ternyata ada santri baru.
"Macan, macan, ada macan...," teriak Syaikhana Khalil.
Para santri segera berhamburan menuju depan rumah Syaikhana Khalil sambil membawa senjata yang telah mereka persiapkan. Santri baru tersebut karena merasa ketakutan segera lari secepat-cepatnya. Para santri masih kebingungan karena tidak menemukan macan seperti yang dikatakan Syaikhana Khalil.
Tiga hari kemudian, santri baru ini datang lagi ke Pesantren Demangan. Karena kelelahan, dia tidur di bawah kentongan masjid. Malam harinya, Syaikhana Khalil membangunkan santri ini, lalu memarahinya habishabisan. Santri baru ini hanya diam saja dimarahi, lalu mengatakan bahwa dia ingin menjadi murid Syaikhana Khalil. Lalu Syaikhana Khalil mengajaknya ke rumah dan santri baru ini diterima sebagai murid.
Santri baru yang disebut "macan" ini bernama Abdul Wahab, putra Kiai Hasbullah Tambakberas Jombang. Santri baru ini di kemudian hari dikenal sebagai KH. Wahab Hasbullah (w. 1971), Rais Am Syuriyah PBNU yang menggantikan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari. Kiai Wahab memang "macan" NU dan kalangan pesantren.
(2) Pencipta lambang NU adalah KH. Ridlwan Abdullah (w. 1962) dari Bubutan, Surabaya. Beliau juga termasuk murid Syaikhana Khalil. Sewaktu belajar di Pesantren Demangan, Kiai Ridlwan tidak pernah disuruh belajar atau mengikuti pengajian. Beliau hanya disuruh oleh Syaikhana Khalil untuk menjaga anak-anaknya, membersihkan rumah, menyapu halaman, dan lain-lain. Kiai Ridlwan hanya belajar jika sempat mendengarkan dan memerhatikan pengajian yang sedang berlangsung. Kiai Ridlwan tidak pernah secara langsung ikut dalam pengajian. Dapat dikatakan Kiai Ridlwan memperoleh ilmu dengan cara “mencuri-curi”. Karena, hanya dengan cara itu beliau bisa memperoleh tambahan ilmu.
Ketika sedang menyapu halaman, tiba-tiba Syaikhana Khalil berteriak, "Maling, maling..." Dan yang dimaksud dengan kata-kata tersebut tidak lain adalah Kiai Ridlwan. Para santri lainnya segera mengejarnya sambil membawa alat pukul seadanya. Tentu saja Kiai Ridlwan lari tunggang langgang dengan pikiran yang takut, tidak berani ke pesantren. Untungnya, para santri ini tidak berhasil menangkap Kiai Ridlwan. Hingga akhirnya Kiai Ridlwan memutuskan untuk pulang ke Bubutan Surabaya. Sesampai di rumah, Kiai Ridlwan menceritakan semua yang terjadi kepada ayahnya, Pak Abdullah
Beberapa hari kemudian, Pak Abdullah sowan kepada Syaikhana Khalil untuk meminta penjelasan mengenai peristiwa yang terjadi tempo hari. Pak Abdullah mengatakan bahwa anaknya bukan maling. Lalu apa jawab Syaikhana Khalil?
"Anak Sampeyan itu sudah pintar, sudah menguasai ilmu saya, kok masih saja di sini. Ya, kalau tidak dengan cara seperti, saya tidak bisa mengusirnya," kata Syaikhana Khalil.2
(3) KH. Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) adalah anak laki-laki pertama pasangan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dan Nyai Nafiqah. Sebelumnya Kiai Hasyim telah mempunyai beberapa anak, namun semuanya perempuan. Nyai Nafiqah sangat menginginkan punya anak laki-laki. Maka, Nyai Nafiqah bernadzar jika mempunyai anak laki-laki akan dibawanya sowan kepada Syaikhana Khalil. Dan Allah mengabulkan doanya dengan menganugerahi anak ke-5 adalah anak laki-laki.
Keuka Wahid Hasyim berusia tiga bulan, Nyai Nafiqah melaksanakan nadzar dengan mengajaknya sowan ke rumah Syaikhana Khalil. Nyai Nafiqah ditemani khadim-nya yang bernama Mbah Abu Mereka sampai di rumah Syaikhana Khalil saat turun hujan lebat. Dengan menggendong seorang bayi, Nyai Nafiqah memberanikan diri masuk ke teras rumah Svakhana Khalil, meski tuan rumah belum mempersilakannya. Baru saja Nyai Nafiqah berteduh di bawah teras, Syaikhana Khalil segera keluar. Namun, kiai kharismatik ini bukannya mempersilakan tamunya masuk, tapi malah mengusirnya. Akhirnya, Nyai Nafiqah pulang ke Tebuireng, Kejadian ini biasanya dimaknai bahwa Wahid Hasyim kecil ini telah diramalkan Syaikhana Khalil kelak ia akan menjadi orang besar.
(4) Bahar adalah salah seorang santri Syaikhana Khalil yang berasal dari Pasuruan. Pada suatu malam, Bahar bermimpi tidur bersama seorang wanita. Ketika bangun tidur, Bahar bukannya senang karena “mimpi basah" seperti itu, malah merasa takut luar biasa! Mengapa? Karena wanita yang menjadi teman tidur dalam mimpi tersebut tidak lain adalah istri Syaikhana Khalil! Karena harus mandi jinabah, Bahar akhirnya tertinggal shalat jamaah shubuh di masjid. Namun ia tetap ke masjid dan bersembunyi di balik pintu.
Saat akan mengimami shalat shubuh di masjid, Syaikhana Khalil terlihat sedang marah-marah. “Santri kurang ajar!" begitu ucapan Syaikhana Khalil saat akan mengimami shalat shubuh.
Setelah selesai shalat jamaah, Syaikhana Khalil bertanya kepada para santrinya siapakah yang tidak mengikuti shalat jamaah. Para santri segera menoleh satu sama lain. Akhirnya mereka tahu bahwa yang tidak ikut berjamaah adalah Bahar. Lalu dipanggillah Bahar,
“Bahar, karena kamu tidak ikut shalat shubuh berjamaah, kamu terkena hukuman. Kamu harus menebang dua rumpun bambu di belakang pesantren. Gunakan petok ini," perintah Syaikhana Khalil. Petok adalah sejenis pisau kecil di Madura yang digunakan untuk mencari rumput. “Baik, Kiai," jawab Bahar,
Cukup lama Bahar menebang dua rumpun bambu menggunakan alat yang kecil itu. Dengan sabar, Bahar terus melaksanakan perintah dari gurunya ini. Akhirnya tugas ini dapat juga diselesaikan. Bahar lalu menghadap Syaikhana Khalil
"Sekarang, kamu makan semua buah-buahan yang ada di nampan itu," perintah Syaikhana Khalil sambil menunjukkan nampan yang dimaksud.
Bahar segera makan semua buah-buahan yang ada di dalam nampan
sesuai perintah gurunya. Setelah selesai, Syaikhana Khalil mengusir Bahar "Ilmuku dicuri santri itu," kata Syaikhana Khalil kepada para santri lainnya,
Di kemudian hari, santri yang diusir Syaikhana Khalil ini dikenal masyarakat sebagai KH. Bahar bin KH. Noerhasan, pengasuh Pesantren Sidogiri Pasuruan pada 1920-an.
(5) Pada zaman penjajahan, Pesantren Demangan menjadi tempat persembunyian para pejuang. Jika ada para pejuang yang dikejar-kejar tentara Belanda, mereka akan bersembunyi ke pesantren Syaikhana Khalil ini. Melihat hal ini, pemerintah Belanda mengerahkan tentaranya untuk melakukan penggeledahan Pesantren Demangan. Namun hasilnya nihil, tidak ditemukan pejuang yang selama ini menjadi incaran Belanda. Akhirnya, Belanda memutuskan untuk menangkap Syaikhana Khalil dengan harapan para pejuang akan menyerahkan diri. Karena, Syaikhana Khalil adalah orang yang sangat dihormati, maka para pejuang tidak akan rela jika orang tersebut ditangkap.
Syaikana Khalil tidak melawan ketika dimasukkan ke dalam jeruji besi penjara. Namun terjadi peristiwa yang aneh. Pintu-pintu penjara, termasuk pintu penjara Syaikhana Khalil, tidak bisa ditutup. Sehingga, para sipir Belanda terpaksa berjaga-jaga di depan pintu penjara siang dan malam. Jika pintu tidak dijaga, mereka kuatir para tahanan akan kabur. Hal ini terus berlangsung berhari-hari. Tidak hanya itu, banyak orang yang datang menjenguk Syaikhana Khalil. Tidak ada pejuang yang dicari Belanda yang diharapkan akan menyerahkan diri.
Akhirnya Belanda melarang orang-orang menjenguk Syaikhana Khalil. Akan tetapi bukannya jumlah mereka berkurang, bahkan semakin bertambah. Tidak hanya menjenguk, mereka juga meminta untuk ditahan menemani Syaikhana Khalil Belanda dibuat pusing dengan peristiwa ini. Maka, Belanda akhirnya melepaskan Syaikhana Khalil
(6) Seperti biasa Syaikhana Khalil mengimami shalat maghrib. Sebelum shalat maghrib selesai, ada seorang tamu keturunan Arab. Tamu ini belum mengerjakan shalat maghrib. Setelah shalat selesai, Syaikhana Khalil segera menemu tamunya. Sang tamu dengan percaya diri mengatakan, "Kiai, bacaan Sampeyan tadi kurang fasih."
Tamu ini berani berkata demikian karena dia adalah keturunan Arab sehingga merasa lebih fasih dalam mengucapkan bahasa Arab atau membaca al-Qur'an
"Ooo...begitu," jawab Syaikhana Khalil dengan tenang,
Kemudian keduanya bercakap-cakap sebagaimana tuan rumah dan tamu pada umumnya.
"Saya belum shalat maghrib, di mana tempat wudhunya?" tamu ini bertanya kepada Syaikhana Khalil.
"Di sebelah sana," kata Syaikhana Khalil sambil menunjuk arah yang dimaksud
Orang Arab itu pun segera melangkah menuju tempat wudhu seperti yang ditunjukkan Syaikhana Khalil. Namun, baru saja dia selesai berwudhu, ada seekor macan tutul di dekatnya. Tentu saja orang Arab ini ketakutan. Lalu dia ucapkan bacaan-bacaan atau doa-doa dalam bahasa Arab yang menurutnya dapat mengusir macan tutul itu. Namun tetap saja si raja hutan ini tidak berpindah dari tempatnya.
Syaikhana Khalil yang merasa kasihan segera menuju ke tempat wudhu. Hanya dengan ucapan sepatah dua patah kata dari mulut Syaikhana Khalil yang tidak jelas artinya, bahkan menurut orang Arab tadi ucapan itu sangat tidak fasih, macan tutul itu segera pergi. Akhirnya, orang Arab ini mengakui bahwa Syaikhana Khalil bukan orang sembarangan. Fasih dalam ucapan memang penting, tapi yang lebih penting lagi adalah penghayatan dari ucapan itu sendiri.
Cerita ini sedikit kurang masuk akal karena Syaikhana Khalil dikenal sebagai penghafal al-Qur'an. Dan penghafal al-Qur'an tidak diragukan lagi kefasihannya dalam membaca al-Qur'an atau menyebut kata-kata dalam bahasa Arab. Cerita ini bisa juga masuk akal karena dalam "berkomunikasi" dengan binatang terkadang digunakan kata-kata tertentu yang tidak dipahami semua orang. Kita dapat membandingkannya dengan seorang pembajak sawah yang menggunakan sapi atau kerbau. Sang pembajak ini mempunyai kata-kata tertentu yang digunakan untuk "berkomunikasi" dengan sapi atau kerbaunya tersebut.
(7) Suatu ketika para petani mentimun di Bangkalan diresahkan oleh banyaknya maling yang mencuri timun-timun mereka. Para pencuri ini melakukan aksinya pada malam hari saat pemilik sawah sedang terlelap tidur. Merasa sulit mengatasi masalah ini, para petani ini datang menemui Kiai Khalil. Mereka berharap Syaikhana Khalil dapat memberi jalan keluar.
Ketika para petani datang, Syaikhana Khalil sedang mengajarkan ilmu nahwu (tata bahasa Arab) kepada para santri. Yang sedang diajarkan adalah kitab Al-Jurumiyah.
"Assalamu'alaikum, Kiai," ucap para petani.
"Wa'alaikumussalam," jawab Syaikhana Khalil.
"Maaf, Kiai. Kami datang kemari karena mentimun-mentimun kami selalu dicuri maling. Kami mohon Kiai membantu mencarikan penangkalnya," kata para petani.
Saat itu kebetulan Syaikhana Khalil sedang membaca kalimat qaama zaidun yang artinya "Zaid telah berdiri".
Lalu Syaikhana Khalil berkata, "Ya, qaama zaidun ini saja penangkalnya."
"Begitu saja, Kiai?" tanya para petani
. Lalu para petani dari Bangkalan ini segera pamit mohon diri,
"Ya,” jawab Syaikhana Khalil.
Esok harinya mereka menuju sawah sebagaimana biasanya. Tetapi mereka dikejutkan dengan pemandangan yang tidak biasa, yakni ada banyak orang kaku berdiri di sawah! Itu adalah para pencuri. Maka, para petani ini akhirnya tahu siapa saja yang selama ini mencuri mentimunmentimun mereka. Tubuh para pencuri ini kaku berdiri, tidak bisa digunakan untuk duduk, sehingga menjadi tontonan para warga. Rasa malu tak dapat disembunyikan dari wajah-wajah para pencuri yang pucat pasi ini,
Akhirnya, salah seorang petani sowan lagi kepada Syaikhana Khalil untuk meminta penangkal agar para pencuri dapat menggerakkan tubuhnya. Syaikhana Khalil memberikan ramuan yang harus dioleskan kepada tubuh para pencuri tersebut agar bisa digerakkan. Setelah saran dari Syaikhana Khalil dilaksanakan, para pencuri akhirnya dapat kembali menggerakkan tubuhnya dan mereka menyesal telah mencuri. Itu adalah cara unik Syaikhana Khalil untuk menyadarkan para pencuri
(8) Suatu hari ada tiga orang tamu menghadap Syaikhana Khalil. Mereka secara bergiliran menyampaikan keperluannya. Tamu pertama berkata, "Kjai, saya ini seorang pedagang, tapi kok sering rugi. Saya sudah berusaha keras, tapi terus saja rugi."
"Ooo begitu, kalau Sampeyan ingin untung dalam berdagang, perbanyak membaca istighfar," kata Syaikhana Khalil kepada tamu pertamanya.
Lalu, tamu kedua berkata, “Kiai, saya sudah 18 tahun berumah tangga, namun belum juga diberi keturunan. Bagaimana agar segera memperoleh momongan?"
"Begini saja, perbanyak membaca istighfar. Insyaallah, Sampeyan segera memperoleh keturunan," saran Syaikhana Khalil.
Kemudian, tamu ketiga mengatakan, “Kiai, saya ini seorang petani. Tapi tidak banyak yang saya peroleh dari hasil pertanian, malah hutang saya semakin bertambah. Bagaimana caranya agar hutang saya tidak terus bertambah dan bisa melunasinya?"
"Saya sarankan, Sampeyan perbanyak membaca istighfar. Insyaallah, hutang-hutang Sampeyan akan segera lunas," kata Syaikhana Khalil kepada tamu yang ketiga.
Ketiga tamu itu segera mohon diri dengan segudang pertanyaan dalam pikiran mereka. Mereka punya pertanyaan yang berbeda tapi mengapa Syaikhana Khalil memberi jawaban yang sama atas persoalan yang berbeda. Namun mereka tidak berani bertanya, dan hanya melaksanakan perintah Syaikhana Khalil dengan ikhlas. Pertanyaan tersebut ternyata tidak hanya ada dalam pikiran ketiga tamu itu, namun juga ada dalam pikiran santri-santri Syaikhana Khalil.
Menyadari ada pertanyaan dalam diri para santrinya, Syaikhana Khalil segera menjelaskan. Syaikana Khalil bukan menerangkan alasannya, tetapi mengutip surah Nuh ayat 10-12 yang artinya: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anakanakmu.
Para santri segera mengerti apa yang dimaksud Syaikhana Khalil, yakni Allah akan memberikan harta dan keturunan kepada hamba-hamba-Nya yang memperbanyak membaca istighfar. Dan memang benar, ketiga tamu Syaikhana Khalil ini akhirnya memperoleh apa yang mereka inginkan.
(9) Bedug adalah alat semacam kendang dengan ukuran besar, sebesar drum, yang digunakan masyarakat Muslim Jawa-Madura dan Indonesia pada umumnya, untuk memberitahu datangnya waktu shalat Bedug dipukul sebelum dikumandangkan adzan. Bedug juga dipukul bertalu-talu saat malam takbir menjelang hari raya. Nah, ada sebagaian kalangan yang menganggap bedug sebagai bid'ah (mengada-ada dalam masalah agama) sehingga harus dihilangkan. Sebagian yang lain menganggap bedug hanya sebagai alat, bukan bid'ah, sehingga patut dipertahankan.
Kedua golongan ini berdebat saling mempertahankan pendapatnya. Lalu mereka memutuskan menemui Syaikhana Khalil untuk dijadikan sebagai juru penengah. Syaikhana Khalil yang terkenal alim dipercaya mampu menyelesaikan masalah ini. Kedua golongan ini secara bersamasama datang ke rumah Syaikhana Khalil.
Beberapa puluh meter sebelum mereka sampai, Syaikhana Khalil tampaknya sudah tahu maksud kedatangan tamunya itu. Syaikhana Khalil menyuruh santrinya meminjam bedug besar di kediaman kepada desa. Begitu bedug besar itu datang, Syaikhana Khalil segera memukulnya dengan keras berkali-kali.
Para tamu itu segera mengerti bahwa menggunakan bedug itu boleh, bukan bid'ah sebagaimana yang dianggap sebagian masyarakat. Kedua golongan tadi segera pulang dengan perasaan puas.
(10) Dulu pelaksanaan ibadah haji menggunakan kapal laut sebagai satusatunya alat transportasi. Belum digunakan pesawat terbang saat itu. Suatu ketika ada kapal yang akan memberangkatkan calon jemaah haji Indonesia ke tanah suci. Terlihat mereka sudah berada di dalam kapal. Di antara jemaah haji ada sepasang suami istri. Mereka merupakan pasangan suami istri yang harmonis.
“Pa, belikan aku anggur dong. Aku kepingin sekali," kata sang istri yang minta dibelikan anggur.
"Tapi dimana, Ma? Di sini kan nggak ada yang jualan anggur" kata suami.
"Cari di pelabuhan, mungkin ada," kata sang istri "Ya, tunggu sebentar," kata si suami
Laki-laki itu segera turun menuju pelabuhan. Ia cari-cari penjual anggur namun tetap tidak ada. Akhirnya ia berjalan terus hingga masuk ke spontane pasar. Di situlah dia menemukan penjual anggur. Setelah memperoleh anggur, laki-laki segera menuju kapal. Dia berpikir istrunya pasokan sangat senang karena dia berhasil membelikan anggur.
Namun sesampai di pelabuhan, di anjungan kapal, dia terkejut sekali. Ternyata kapal yang ditumpangi istrinya telah berangkat Laki-laki duduk lesu dengan kepala tertunduk sambil memegang bungkusan yang berisi anggur. Lalu ada seseorang mendekati laki-laki yang sedang bersed ini. Dia bertanya apa yang terjadi. Calon jemaah haji yang tertinggal kapal ini segera menceritakan segala yang dialaminya.
"Coba, Sampeyan temui Syaikhana Khalil," kata seseorang tersebut "Itu siapa? Saya tidak kenal," kata laki-laki yang tertinggal kapal "Dia itu kiai besar yang mempunyai banyak karamah," jelas seseorang
tersebut
Seseorang tersebut menjelaskan sosok Syaikhana Khalil dan dimana tempat tinggalnya. Laki-laki yang tertinggal kapal ini segera menuju rumah Syaikhana Khalil.
"Ada perlu apa?" tanya Syaikhana Khalil kepada tamunya.
Laki-laki itu segera menceritakan semua yang terjadi kepada seorang kiai yang ada di depannya.
"Lho, itu bukan urusan saya. Itu urusan pegawai pelabuhan kan Syaikhana Khalil.
Laki-laki itu segera mohon diri, lalu menuju pelabuhan untuk menenta seseorang yang tadi memperkenalkannya dengan Syaikhana Khalil Sese orang itu masih menyuruh laki-laki itu untuk kembali menemui Syaikhana Khalil. Hal ini berlangsung hingga tiga kali.
Ketika laki-laki tersebut menemui Syaikhana Khalil untuk ketiga kalinya, Syaikhana Khalil berkata, "Baik, kalau Sampeyan benar-benar membutuhkan bantuan, saya akan membantu."
Terimakasih, Kiai," kata laki-laki tersebut.
"Tapi ingat, jangan menceritakan kejadian yang akan sampeyan alami, kecuali jika saya telah meninggal. Sampeyan sanggup?" tanya Syaikhana Khalil.
"Sanggup, Kiai," kata laki-laki itu.
"Sekarang Sampeyan pegang anggur itu dan pejamkan mata," perintah Syaikhana Khalil.
Laki-laki itu menurut saja perintah Syaikhana Khalil. Ketika membuka mata, dia sangat terkejut. Ternyata dia sudah berada dalam kapal yang dinaikinya bersama sang istri! Dia usap-usap matanya untuk meyakinkan bahwa yang dialaminya itu bukan mimpi. Lalu, segera saja dia temui istrinya untuk memberikan anggur yang dipesan.
"Kok lama sekali?" kata istrinya.
"Ya, maaf, tadi ada perlu sebentar," kata sang suami sambil menyerahkan anggur kesukaan istrinya.
Terbayang di mata laki-laki ini sosok kiai berwibawa yang penuh dengan misteri. Dia tidak ceritakan pengalaman luar biasa yang baru saja dialaminya kepada sang istri. Karena, memang Syaikhana Khalil berpesan untuk merahasiakan kejadian ini sampai beliau wafat.
Saifur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Assayuthi Arrifa'i dalam karyanya, mengumpulkan cerita-cerita mengenai karamah atau kejadian luar biasa yang tidak masuk akal dari Syaikhana Khalil, dan hasilnya ada 50 lebih cerita. Namun setelah diteliti dengan cermat, hanya ada 29 cerita yang barangkali dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang diceritakan dalam buku ini hanya sebagian kecil dari cerita-cerita tersebut, hanya 10 cerita saja. Untuk lebih lengkapnya, kita dapat membaca Biografi dan Karamah Kiai Kholil Bangkalan: Surat Kepada Anjing Hitam yang diterbitkan Pustaka Ciganjur 1999, lalu diterbitkan kembali oleh Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.
Murid Syaikhana Khalil
Syaikhana Khalil dikenal sebagai kiai kharismatik, selain karena banyaknya cerita yang beredar di masyarakat mengenai hal-hal yang luar biasa, bahkan tidak masuk akal (khariqul 'adah), juga karena keberhasilan beliau mencetak puluhan kiai besar yang akhirnya menjadi pendiri atau pengasuh pesantren besar di Jawa, Madura dan Bali. Termasuk murid Syaikhana Khalil adalah (1) Hadratusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy'ari (pendiri Pesantren Tebuireng, pahlawan nasional dan Rais Akbar Nahdlatul Ulama), (2) Raden Ibrahim atau KHR Syamsul Arifin (pendiri Pesantren Sukorejo Asembagus Situbondo), (3) KH. R. As'ad Syamsul Arifin (penerus Klai Syamsul Arifin). (4) KH. Abdul Wahab Hasbullah (pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang dan Rais Am PBNU), dan (5) KH. Muhammad Bisri Syansuri (pendiri Pesantren Denanyar Jombang dan Rais Am PBNU).
Lalu ada (6) KH. Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU dari Bubutan Surabaya), (7) KH. Ma'shum (pendiri Pesantren Al-Hidayah Lasem Rembang), (8) KH. Bisri Mustofa (penulis Tafsir al-Ibriz dan merupakan ayah Gus Mus), (9) KH. Muhammad Siddiq (pendiri Pesantren Siddiqiyah Jember), (11) KH. Muhammad Hasan (pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo), (12) KH. Zaini Mun'im (pendiri Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo), (13) Abah Sepuh atau KH. Abdullah Mubarak (pendiri Pesantren Suryalaya Tasikmalaya), (14) KH. Asy'ari (pendiri Pesantren Darut Thalabah Wonosari Bondowoso), dan (15) KH. Abi Sujak (pendiri Pesantren Astatinggi Kebun Agung Sumenep).
Kemudian ada (16) KH. Ali Wafa (pendiri Pesantren Temporejo Jember), (17) KH. Thoha (Pesantren Bata-bata Pamekasan), (18) KH. Musthofa (pendiri Pesantren Macan Putih Blambangan), (19) KH. Usmuni (pendiri Pesantren Pandean Sumenep), (20) KH. Karimullah (pendiri Pesantren Curah Dami Bondowoso), (21) Mbah Manab atau KH. Abdul Karim (pendiri Pesantren Lirboyo Kediri), (22) KH. Muhammad Ma'ruf (pendiri Pesantren Kedunglo Kediri), (23) KH. Muhammad Munawwir (pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta), (24) KH. Khazin (pendiri Pesantren Buduran Sidoarjo), (25) KH. Nawawi (pengasuh Pesantren Sidogiri Pasuruan), (26) KH. Abdul Hadi (Lamongan), (27) KH. Zainuddin (pengasuh Pesantren Mojosari Nganjuk), (28) KH. Abdul Fattah (pendiri Pesantren Al-Fattah Mangunsari Tulungagung), (29) KH. Zainul Abidin (Kraksaan Probolinggo), (30) KH. Munajad (Kertosono Nganjuk), (31) KH. Romli Tamim (pengasuh Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang), (32) KH. Anwar Alwi (pengasuh Pesantren Paculgowang Jombang), (33) KH. Abdul Madjid (pengasuh Pesantren Bata-bata Pamekasan), (34) KH. Hamid bin Istbat (Banyuwangi), (35) KH. Muhammad Thohir Jamaluddin (Sumbergayam Madura), (36) KH. Zainur Rosyid (Kironggo Bondowoso), (37) KH. Hasan Musthofa (Garut), (38) KH. Raden Fakih Maskumambang (Gresik), KH. Bahar bin KH.Noerhasan (pengasuh Pesantren Sidogiri Pasuruan), dan (40) KH. Sayyid Ali Bafaqih (pendiri Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali).
Karya Tulis Syaikhana Khalil
Tidak banyak yang tahu jika Syaikhana Khalil juga mempunyai karya tulis. Sayangnya, karya-karya beliau banyak yang tidak lagi ditemukan. Hanya empat karyanya yang masih tersisa, yaitu “Kitab Silah fi Bayan al-Nikah” yang mengupas masalah nikah menurut madzhab syafi'i, “Kitab Tarjamah Alfiyah" yang masih berbentuk manuskrip, “Shalawat Kiai Khalil Bangkalan" yang dihimpun KH. Muhammad Kholid dalam l'anah al-Raqibin yang diterbitkan oleh Pesantren Roudlotul Ulum Sumber Waringin Jember, dan "Wirid-wirid Kiai Khalil Bangkalan” yang dikumpulkan oleh KH. Mustofa Bisri Rembang dalam Kitab Haqiban.
Meskipun karya tulis Syaikhana Khalil hanya empat buah yang tersisa, Syaikhana Khalil memiliki peran besar dalam perkembangan Islam di negeri ini. Karena, murid-muridnya mampu menjadi pendiri atau pengasuh pesantren besar di Jawa dan Madura. Dan meski karya tulis Syaikhana Khalil tidak banyak dibaca orang bahkan tidak diketahui keberadaannya, ilmu beliau telah bermanfaat kepada banyak orang. Memang, ilmu yang bermanfaat dapat diperoleh dengan mengamalkan apa yang diketahui, menulis maupun mengajar.
Menghadap Sang Khaliq
Syaikhana Khalil menghadap Sang Khaliq pada 1343 H/1925 M. Tidak ada informasi bagaimana detik-detik terakhir Syaikhana Khalil wafat. Makamnya yang tak sepi dari peziarah dapat ditemukan di Desa Mertajasa, tidak jauh dari pesantren yang didirikannya, kira-kira satu kilometer barat kota Bangkalan.
Setelah Syaikhana Khalil wafat, Pesantren Demangan sempat mengalami kevakuman. Kiai Imran yang merupakan putra Syaikhana Khalil lebih banyak uzlah atau berada di luar Demangan. Para santri mulai berkurang dan kegiatan belajar-mengajar pun tidak ada di pesantren. Konon, Kiai Imran melakukan hal demikian karena untuk memberi kesempatan kepada para murid Syaikhana Khalil untuk mendirikan atau mengembangkan pesantren mereka masing-masing. Lalu, orang yang berjasa menghidupkan kembali Pesantren Demangan adalah KH. S. Abdullah Schal yang biasa dipanggil dengan sebutan Bindere Dulla atau Ra Dulla. Tokoh yang disebut terakhir ini tidak lain adalah cicit dari Syaikhana Khalil. Kiai Abdullah adalah anak dari pasangan KH. Zahrowi dan Nyai Romlah. Dan Nyai Romlah adalah anak dari Kiai Imran dan Mutmainah, sementara Kiai Imran adalah putra Syaikhana Khalil. Kiai Abdullah wafat pada 2 Ramadhan 1430 H, lalu posisinya sebagai pengasuh Pesantren Demangan (Pesantren Syaikhana I Demangan) diteruskan oleh anaknya, KH. R. Fakhrillah Aschal. Sebagai tambahan, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Syaikhana Khalil tidak meninggalkan foto. Jadi, jika ada foto bertuliskan Syaikhana Khalil, itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Memang ada kiai lain di Bangkalan yang bernama Muhammad Khalil, tapi bukan Syaikhana Khalil yang dibicarakan ini.
Comments